Lalu adakah contoh konkret dari fenomena tentang hal ini di dalam bidang hukum? Saya terpikirkan satu contoh, yakni dengan melihat nasib kewenangan lembaga sensor yang dulu pernah sangat kita andalkan. Film-film yang beredar di bioskop dan televisi dulu secara umum hanya bisa ditonton setelah melewati proses sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Seandainya kita masih sempat datang untuk menonton film di gedung bioskop (praktis di masa pandemi covid-19 ini, hal tersebut disarankan untuk tidak dilakukan), maka semua penonton masih disuguhi informasi bahwa film itu lulus sensor LSF. Sensor ini tidak akan kita dapatkan jika kita beralih dengan menonton film di Netflix dan Iflix. Kendati LSF berteriak untuk meminta kewenangan itu, perusahaan pengelola layanan streaming itu tetap bergeming, dan negara tidak berdaya untuk memaksa. Tidak juga ada jaminan bahwa apabila kewenangan LSF itu ditambahkan di dalam undang-undang, maka LSF mampu untuk menjalankan tugas itu dengan baik.
Seandainya LSF mampu menyensor film-fim yang beredar pada sejumlah media, maka masyarakat akan disodorkan lagi dengan akses baru guna menonton film-film yang belum tersentuh gunting LSF. Film dan video yang beredar di Youtube, misalnya, praktis tidak akan mampu disentuh oleh LSF.
Benar, bahwa salah satu dalih untuk tetap mempertahankan eksistensi dari LSF dalam hal ini adalah adanya bayangan kekhawatiran kita terhadap dampak negatif dari materi pornografi. Tatkala Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi diundangkan pada tanggal 26 November 2008, ada pertimbangan bahwa pornografi itu telah dan sedang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Untuk itu, melalui undang-undang tersebut negara harus mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Pada saat bersamaan, teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan super-dahsyat. Industri pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat ikut terdongkrak dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi itu. Jika dulu orang harus bersusah payah mendapatkan informasi seputar aktivitas seks, sekarang semuanya sangat mudah tersaji.
Betul bahwa negara tidak tinggal diam. Bisa saja secara statistik, pemerintah menunjukkan ada sekian situs yang memuat konten pornografi itu sudah diblokir. Namun, ibarat banjir bandang, tindakan pemblokiran ini seperti menyemprotkan seember air di lautan api yang tengah membakar bangunan. Di sinilah kita melihat betapa kedaulatan negara telah mengalami pengembosan. Akhirnya, negara seperti menyerah dengan kondisi ini.